Tingkatkan Wawasan, Seksi Bimas Islam Gelar Pengarusutamaan Moderasi Beragama dan Wawasan Kebangsaan
Bantul (Kankemenag) - Seksi Bimas Islam Kantor Kementerian Agama Kabupaten Bantul (Kankemenag Bantul) menggelar kegiatan bertajuk Pengarusutamaan Moderasi Beragama dan Wawasan Kebangsaan di RM. Joglo Yoso Palbapang Bantul, Selasa (7/6). Kegiatan ini diikuti oleh penyuluh agama Islam PNS dan non PNS di Kabupaten Bantul. Dalam kegiatan ini Seksi Bimas Islam menghadirkan narasumber yaitu Kepala Kantor Wilayah (Kanwil) Kemenag DIY Dr. H. Masmin Afif, M.Ag. dan Dr. Waryani Fajar Riyanto, S.H.I., M.Ag., dosen sekaligus Ketua Pusat Moderasi Beragama dan Kebhinnekaan (PMBK) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Kepala Seksi Bimas Islam H. Fariq Nur Rokhim, S.H.I., M.A. menyampaikan bahwa perlu adanya penguatan pemahaman terkait moderasi beragama dan wawasan kebangsaan untuk penyuluh di KUA, baik PNS maupun non PNS. Salah satu tujuannya yaitu menghindarkan para penyuluh terhadap tindakan yang radikal, karena penyuluh bisa dikatakan sangat dekat dengan masyarakat.
Dalam penyampaian materi, Masmin Afif memaparkan beberapa tantangan moderasi beragama. Seperti berkembangnya cara pandang, sikap dan praktik beragama yang berlebihan atau ekstrem, yang mengesampingkan martabat kemanusiaan. Berkembangnya klaim kebenaran subyektif dan pemaksaan kehendak atas tafsir agama serta pengaruh kepentingan ekonomi dan politik berpotensi memicu konflik. Selain itu, berkembangnya semangat beragama yang tidak selaras dengan kecintaan berbangsa dalam bingkai NKRI.
Masmin juga menjelaskan empat indikator moderasi beragama dan wawasan kebangsaan. “Pertama, komitmen kebangsaan, jadi penerimaan terhadap prinsip-prinsip berbangsa yang tertuang dalam konstitusi dan regulasi di bawahnya. Kedua, toleransi, yaitu menghormati perbedaan dan memberi ruang orang lain untuk keyakinan, mengekspresikan keyakinannya dan menyampaikan pendapat serta menghargai kesetaraan dan sedia bekerjasama. Ketiga, anti kekerasan, yaitu menolak tindakan seseorang atau kelompok tertentu yang menggunakan cara-cara kekerasan, baik secara fisik maupun verbal, dalam mengusung perubahan yang diinginkan. Keempat, penerimaan terhadap tradisi, dalam artian ramah dalam penerimaan tradisi dan budaya lokal dalam perilaku keagamaannya, sejauh tidak bertentangan dengan pokok ajaran agama,” terangnya.
Selanjutnya pada materi kedua yang disampaikan oleh Waryani Fajar, ia menyampaikan tentang penguatan moderasi beragama dan wawasan kebangsan melalui model keberagamaan intersubjektif. Model keberagaman intersubjektif mensyaratkan kerangka pikir yang moderat (wasathiyah) dalam menyikapi keanekaragaman agama, aliran, mazhab, kepercayaan dan ekspresi keagamaan di ruang publik.
Waryani juga menjelaskan pola moderasi beragama dan wawasan kebangsan melalui model keberagamaan intersubjektif ini. “Sebagai input, dari subyek yang berilmu, berbudi, dan berhati-hati. Kemudian sebagai prosesnya yang kita sebut moderasi beragama seperti bertindak adil dan menjaga keseimbangan. Sebagai output atau capaiannya ialah terciptanya kerukunan, kedamaian, dan toleransi,” jelasnya.
Selain itu, Waryani menuturkan tentang lima indikator penceramah dikatakan radikal maupun tidak menurut BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme). Pertama, mengajarkan ajaran yang anti Pancasila dan pro ideologi khilafah transnasional. Kedua, mengajarkan paham takfiri yang mengkafirkan pihak lain yang berbeda paham maupun berbeda agama. Ketiga, menanamkan sikap anti pemimpin dengan sikap membenci dan membangun ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Keempat, memiliki sikap eksklusif terhadap lingkungan maupun perubahan serta intoleransi terhadap perbedaan. Kelima, biasanya memiliki pandagan anti budaya ataupun anti kearifan lokal keagamaan. (Dnd)