Buku Sutanto “Rinonce Sekar Melati” Akan Segera Terbit
Bantul (MTsN 3 Bantul) - Guru Seni Budaya MTsN 3 Bantul, Sutanto tak mau berhenti menuangkan idenya melalui tulisan. Setelah berhasil menerbitkan beberapa buku melalui Komunitas Yuk Menulis (KYM) pimpinan Vitriya Mardiyati, guru yang menjadi pengurus catur DIY tersebut akan segera menerbitkan buku berjudul Rinonce Sekar Melati.
Sutanto menjelaskan bahwa buku yang ditulis dalam waktu 3 minggu tersebut merupakan bukunya yang ke-10. Di buku ini, dia membuat kumpulan 100 geguritan (puisi berbahasa Jawa) sebagi upaya turut melestarikan budaya Jawa khususnya sastra tulis. Judul “Rinonce Sekar Melati” diambil dari salahsatu judul yang ada dalam buku ini.
“Secara khusus saya mengucapkan terimakasih kepada Pak Ratun Untoro dan Pak Akhir Lusono yang telah berkenan memberi sambutan dalam buku ini. Perhatian mereka berdua terhadap karya sastra sangat luar biasa, “ ujarnya Jumat (19/11).
Pengkaji Bahasa dan Sastra/ Koordinator Bidang Pembinaan Sastrawan Balai Bahasa Yogyakarta, Dr. Ratun Untoro, M.Hum menyampaikan rasa puas dan bangga atas terbitnya buku tersebut. Menurutnya bukan sekadar buku sebagai artefak, tetapi bagaimana proses di baliknya.
“Kemauan, keuletan, dan kecerdasan Pak Sutanto merupakan hal yang tidak biasa. Sebagai guru, ia tidak sekadar mengajar, tetapi turut bergerak dan berproses kreatif. Ia menulis berbagai jenis teks di berbagai media, bahkan telah menerbitkan beberapa buku. Salah satunya adalah buku kumpulan geguritan Rinonce Sekar Melati ini,” puji Ratun.
Geguritan atau gurit awalnya merupakan tembang yang berupa purwakanthi, misalnya: Rujak nanas kemplung-kemplung aneng gelas, tuwas tiwas nglabuhi wong ora waras (Baoesastra Djawa, Poerwadarminta, 1939). Namun, sebenarnya majalah Kejawen pada tahun 1929 telah memuat geguritan yang bukan berupa purwakanthi. Geguritan yang dimuat itu menjadi semacam puisi bebas berbahasa Jawa modern yang tidak terikat persamaan bunyi.
Sekilas, penciptaan geguritan tampak lebih mudah dibanding macapat. Pencipta tidak perlu berpikir tentang metrum. Bayangkan, pada proses penciptaan macapat, pencipta harus mampu mengganti kata “Mataram” menjadi “Ngeksiganda”, misalnya. Hal itu dilakukan untuk memenuhi metrum akhiran bunyi a dan jumlah suku kata yang tepat. Beda halnya dengan mencipta geguritan. Pencipta bisa langsung saja menulis kata “mataram”. Namun, apakah semudah itu menulis geguritan?
Geguritan yang mirip puisi bebas itu tentu bukan sekadar rangkaian kata yang disusun dengan tipografi yang berbeda dengan prosa. Bukan pula sekadar tulisan yang dihilangkan tanda bacanya. Namun, geguritan adalah kristalisasi pemikiran. Geguritan merupakan bentuk kecerdasan pencipta dalam mengolah pengalaman panjang menjadi satu dua kata. Oleh karena itu, kata wuyung dan tresna; adhem dan atis, misalnya, menjadi sangat berbeda makna. Dalam bahasa Indonesia, kita mengenal kata “sepi” dan “sunyi” yang penggunaannya harus tepat sesuai dengan pengalaman penulis atau pembacanya.
Ungkapan atau kata yang termuat dalam geguritan karya Sutanto ini merupakan endapan pengalaman batin penciptanya. Kata “lana” pada baris sembilan gurit nomor 31 bukan sekadar bermakna lestari. Namun, ia memuat rasa makna “ora owah” atau “tidak bisa bergeser digantikan dengan yang lain”. Kata “lestari” tidak digunakan oleh Sutanto karena dianggap tidak mewakili makna pengalaman batinnya. Contoh tersebut membuktikan bahwa setiap kata yang ada dalam sebuah geguritan bukan sekadar ucapan, tetapi memuat konsep dan menjadi simbol (bukan sekadar tanda) gumpalan pemikiran. Burung beo (gracula atau hill myna) bisa saja dilatih untuk mengucapkan kata “lana” atau “lestari”. Namun, beo hanya sekadar mengucapkan. Ia tidak pernah mengerti konsep dan makna di balik kata itu. Oleh karena itu, membaca geguritan sebenarnya bukan sekadar menyuarakan.
Sementara itu Sastrawan Jawa Yogyakarta Akhir Lusono berpendapata, bahwa tulisan apapun itu genre nya pasti membutuhkan perajut kata yang kampiun. Tanpa memiliki talenta atau kompentensi yang baik pastilah tidak akan menjadi tulisan. Tingkat literasi seorang penulis seperti saudara Sutanto mestilah baik. Mustahil tanpa literasi dapat menulis. Memotret kahanan baik kahanan yang di bacanya melalui teks teks yang dibacanya maupun membaca kahanan dunia yang dinamis perubahannya.
Dalam kumpulan 100 gurit ini sarat akan makna. Mengeja gurit yang disajikan bak makan makanan yang renyah menyehatkan. Dimulai dari abjad A dan seterusnya, jika kita cerna ada macam macam rasa. Asyik dan menyehatkan.
“Di penghujung pengantar dalam buku ini saya akan mengutip sebuah peribahasa: "Gajah Mati Meninggalkan Gading, Harimau Mati Meninggalkan Belang". Jelas apa makna dari peribahasa tersebut. Saudara Tanto teruslah berkarya. Pecut dan lecut gairah yang membara tersebut. Jangan berhenti teruslah berlari. Mumpung jernih dan tajamnya indera mu masih terjaga. Kalaupun ragamu akan lapuk dimakan usia namun tulisanmu akan berjejak sampai kapanpun. Bahkan anak cucu cicit canggah dan warengmu pun masih bisa membaca karya karya masterpice mu di kelak kemudian hari,” pesan Akhir Lusono.